Lubang Zenit

Lubang Zenit merupakan salah satu media observasi di Observatorium Universitas Ahmad Dahlan. Konsep pembangunannya terinspirasi dari Observatorium Assalaam, Sukoharjo. Lubang ini didesain oleh Bapak Dr. Muchlas saat pembangunan gedung. Lubang ini setinggi lebih daripada 10 lantai yaitu memanjang dari taman angkasa (roof top) sampai ke lantai 1. Terdapat 2 lubang yaitu di sayap barat dan timur gedung. Tersedia penutup pada setiap lantai untuk keamanan pengunjung. Pembukaan penutup lubang hanya pada 2 hari tertentu setiap tahunnya.

Tujuan dibuatnya yaitu untuk memberikan pemahaman kepada pengunjung terhadap gerak semu Matahari. Gerak Semu ini membuat posisi Matahari seolah-olah selalu berubah setiap harinya pada waktu yang sama (dalam hal ini tengah hari). Artinya pada suatu saat, Matahari akan berada di zenit pada tengah hari, ada kalanya cenderung ke arah selatan ataupun utara. Selain itu, fenomena gerak semu Matahari ini juga dapat digunakan sebagai media pembelajaran astronomi tentang bentuk Bumi.

Fenomena posisi Matahari berada di zenit pada tengah hari membuat panjang bayangan memendek bahkan menghilang. Oleh karena itu, pada saat tersebut, fenomena ini dikenal sebagai hari tanpa bayangan. Matahari berada di zenit Observatorium UAD pada tanggal 28 Februari/1 Maret dan 14 Oktober. Pada saat tanggal tersebut. cahaya Matahari akan merambat lurus masuk ke bagian atas lubang zenit sampai ke lantai 1 tanpa terinterupsi oleh lantai-lantai di antaranya. Pada hari-hari lainnya, fenomena cahaya Matahari menembus gedung ini tidak bisa diamati. Oleh karena itu, fenomena ini selalu diamati setiap tahun di Observatorium UAD.

Rashdul Qiblah merupakan fenomena yang serupa yaitu Matahari berada di zenit kota Mekah pada tengah hari. Pada saat tanggal 27/28 Mei dan 15/16 Juli, fenomena ini terjadi. Wilayah di Indonesia yang masih dapat mengamati Matahari dapat menggunakannya sebagai panduan penentuan arah kiblat. Arah terlihatnya Matahari yaitu sama dengan arah kiblat. Atau juga dapat menggunakan bayangan tongkat/tiang yang menunjukkan arah kebalikan dari arah kiblat.

Eratosthenes pada sekitar tahun 240 Sebelum Masehi menggunakan fenomena ini untuk mengukur keliling Bumi. Hal ini berarti pada masa itu, orang sudah paham tentang bentuk Bumi yaitu Bumi berbentuk BULAT. Terdapat suatu sumur di daerah Mesir yaitu Syene atau sekarang dikenal sebagai Aswan. Pada saat tengah hari pada Summer Solstice, orang dapat melihat citra Matahari di permukaan air sumur tersebut. Artinya, Matahari berada di zenit kota Aswan. Sedangkan, di kota Alexandria, tempat Eratosthenes mengelola perpustakaannya, fenomena ini tidak terjadi. Kalau kita melihat peta, Alexandria berada di sebelah utara kota Aswan. Eratosthenes menggunakan tongkat dan mengukur bayangan pada tengah hari. Beliau mengukur bayangan tongkat membentuk sudut 7 derajat. Dengan menggunakan informasi jarak kedua kota dan sudut tersebut, maka Eratosthenes menggunakan persamaan matematika untuk menghitung keliling Bumi. Hasilnya yaitu sekitar 39.100 – 40.300 km. Pengukuran pada masa sekarang, didapatkan keliling Bumi yaitu 40.300 km.